Hampir semua pemuda (laki-laki atau wanita) mempunyai dua tujuan utama, pertama menemukan pekerjaan yang sesuai dan, kedua menikah dan membangun sebuah rumah tangga (keluarga). Hal ini tidak selalu harus mencul dalam aturan tertentu, tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan mengalami “jatuh cinta” di dalam masa kehidupannya setelah mencapai belasan tahun (Garrison, 1956:483). Mulai saat itu laki-laki atau wanita telah berangan-angan untuk menemukan pasangan hidup yang ideal. Hal ini tentu merupakan tugas yang amat berat. Gejala perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan mungkin seorang remaja telah mulai mempelajari peran seksual lebih baik dibandingkan remaja lain, dan sebaliknya terdapat remaja yang belum mengetahui peran seksual yang sebenarnya.
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta bermacam-macam, antara lain adalah faktor kepribadian, faktor fisik, faktor budaya, latar belakang, dan faktor kemampuan. Seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang Jawa, dalam pemilihan pasangan hidup dilihat tiga
segi yaitu: “bibit” atau faktor keturunan, “bebet” atau faktor status social, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Para ahli ilmu jiwa social sependapat bahwa konsepsi yang menentukan saling tertariknya antara erson relevan dengan upaya menciptakan hubungan yang akrab (intim) dan hal itu berlangsung dalam kurun waktu yang relative panjang. Hal ini ditentukan oleh banyak hal, antara lain adalah: penampilan masa kini, antisipasi masa depan, pertimbangan biaya, dan hal yang berkaitan dengan peranan masing-masing pihak dalam mengawali dan menjaga hubungan satu sama lain (Levinger – 1980, dalam Worchel dan Cooper, 1983:279). Secord dan Backman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dicapai melalui tiga tahap, yaitu: (i) tahap eksplorasi, menjajagi masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau penghargaan dan keuangan, (ii) tahap penawaran, di mana pasangan itu menjalani berbagai janji. Tidak ada ketentuan formal dalam perjanjian ini, tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal ini adalah saling pengertian tentang latar belakang hubungan mereka, dan (iii) tahap komitmen. Tahap komitmen ini ditandai oleh saling ketergantungan masing-masing. Di samping tiga hal ini Backman mengajukan tahap keempat yang disebut tahap institusionalisasi yang ditandai oleh pemahaman satu sama lain termasuk pemahaman pihak lain yang menyaksikan hubungan tersebut (dalam Worchel dan Cooper, 1983:279). Hasil penelitian belum dapat membedakan antara berbagai macam pendekatan tentang bagaimana mengenal tahap-tahap itu, hampir semua teori menyepakati adanya perubahan tentang cara pasangan itu saling beraktivitas untuk meningkatkan keakraban hubungan mereka.
Teori lain telah pula mendiskusikan adanya sedikit perbedaan pandangan tentang tahapan-tahapan yang ada dalam perkembangan keakraban hubungan antarremaja (Levinger, 1980). Dari diskusi dapat diidentifikasi perubahan-perubahan perilaku remaja dalam melakukan pergaulan dengan lawan jenisnya. Perubahan prilaku itu telah dikemukakan secara ringkas oleh Burgess dan Huston sebagai berikut:
1) Mereka lebih sering berhubungan dalam
periode waktu agak lama.
2) Mereka mencapai pendekatan bila berpisah
dan merasa ada peningkatan hubungan bila bertemu kembali.
3) Mereka terbuka satu sama lain tentang
perasaan yang mereka rasakan dan secara fisik menunjukkan keakraban.
4) Mereka menjadi lebih terbiasa dan saling
berbagi perasaan suka dan duka
5) Mereka mengembangkan system komunikasi
mereka sendiri, dan komunikasi itu meningkat lebih efisien.
6) Mereka meningkatkan kemampuan
masing-masing dalam merencanakan dan mengantisipasi kenyataan kehidupan dalam
masyarakat nanti.
7) Mereka menyingkronkan tujuan dan
prilakunya, dan mengembangkan pola interaksi yang cenderung tetap.
8) Mereka meningkatkan investasi mereka
dalam hal hubungan dan memperluas lingkup kehidupan mereka yang penting.
9) Mereka sedikit demi sedikir mulai
merasakan bahwa intensitas mereka masing-masing merupakan ikatan yang tak dapat
dipisahkan demi kebaikan hubungan mereka.
10) Mereka meningkatkan perasaan saling
menyayangi, mempercayai, dan mencintai demi kepentingan bersama.
11) Mereka melihat hubungan tersebut sebagai
yang tak tergeserkan, atau setidak-tidaknya sebagai suatu yang unik.
12) Mereka semakin akrab satu sama lain
sebagai sejoli dan bukan sebagai individu.
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta bermacam-macam, antara lain adalah faktor kepribadian, faktor fisik, faktor budaya, latar belakang, dan faktor kemampuan. Seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang Jawa, dalam pemilihan pasangan hidup dilihat tiga
segi yaitu: “bibit” atau faktor keturunan, “bebet” atau faktor status social, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Para ahli ilmu jiwa social sependapat bahwa konsepsi yang menentukan saling tertariknya antara erson relevan dengan upaya menciptakan hubungan yang akrab (intim) dan hal itu berlangsung dalam kurun waktu yang relative panjang. Hal ini ditentukan oleh banyak hal, antara lain adalah: penampilan masa kini, antisipasi masa depan, pertimbangan biaya, dan hal yang berkaitan dengan peranan masing-masing pihak dalam mengawali dan menjaga hubungan satu sama lain (Levinger – 1980, dalam Worchel dan Cooper, 1983:279). Secord dan Backman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dicapai melalui tiga tahap, yaitu: (i) tahap eksplorasi, menjajagi masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau penghargaan dan keuangan, (ii) tahap penawaran, di mana pasangan itu menjalani berbagai janji. Tidak ada ketentuan formal dalam perjanjian ini, tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal ini adalah saling pengertian tentang latar belakang hubungan mereka, dan (iii) tahap komitmen. Tahap komitmen ini ditandai oleh saling ketergantungan masing-masing. Di samping tiga hal ini Backman mengajukan tahap keempat yang disebut tahap institusionalisasi yang ditandai oleh pemahaman satu sama lain termasuk pemahaman pihak lain yang menyaksikan hubungan tersebut (dalam Worchel dan Cooper, 1983:279). Hasil penelitian belum dapat membedakan antara berbagai macam pendekatan tentang bagaimana mengenal tahap-tahap itu, hampir semua teori menyepakati adanya perubahan tentang cara pasangan itu saling beraktivitas untuk meningkatkan keakraban hubungan mereka.
Teori lain telah pula mendiskusikan adanya sedikit perbedaan pandangan tentang tahapan-tahapan yang ada dalam perkembangan keakraban hubungan antarremaja (Levinger, 1980). Dari diskusi dapat diidentifikasi perubahan-perubahan perilaku remaja dalam melakukan pergaulan dengan lawan jenisnya. Perubahan prilaku itu telah dikemukakan secara ringkas oleh Burgess dan Huston sebagai berikut:
1) Mereka lebih sering berhubungan dalam
periode waktu agak lama.
2) Mereka mencapai pendekatan bila berpisah
dan merasa ada peningkatan hubungan bila bertemu kembali.
3) Mereka terbuka satu sama lain tentang
perasaan yang mereka rasakan dan secara fisik menunjukkan keakraban.
4) Mereka menjadi lebih terbiasa dan saling
berbagi perasaan suka dan duka
5) Mereka mengembangkan system komunikasi
mereka sendiri, dan komunikasi itu meningkat lebih efisien.
6) Mereka meningkatkan kemampuan
masing-masing dalam merencanakan dan mengantisipasi kenyataan kehidupan dalam
masyarakat nanti.
7) Mereka menyingkronkan tujuan dan
prilakunya, dan mengembangkan pola interaksi yang cenderung tetap.
8) Mereka meningkatkan investasi mereka
dalam hal hubungan dan memperluas lingkup kehidupan mereka yang penting.
9) Mereka sedikit demi sedikir mulai
merasakan bahwa intensitas mereka masing-masing merupakan ikatan yang tak dapat
dipisahkan demi kebaikan hubungan mereka.
10) Mereka meningkatkan perasaan saling
menyayangi, mempercayai, dan mencintai demi kepentingan bersama.
11) Mereka melihat hubungan tersebut sebagai
yang tak tergeserkan, atau setidak-tidaknya sebagai suatu yang unik.
12) Mereka semakin akrab satu sama lain
sebagai sejoli dan bukan sebagai individu.
0 comments:
Posting Komentar